Istilah asuransi
berasal dari bahasa Belanda yakni assurantie yang dalam bahasa Indonesia
diartikan asuransi. Namun, menurut Andri Soemitra (2009) bahwa istilah assurantie itu sendiri
sebenarnya bukanlah istilah asli bahasa Belanda, melainkan berasal dari bahasa
Latin, yaitu assecurare yang berarti “meyakinkan orang”. Dalam bahasa
Belanda, istilah asuransi yang sering diartikan “pertanggungan” dapat
diterjemahkan menjadi insurance dan assurance. Kedua istilah
tersebut sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda, insurance mengandung
arti segala sesuatu yang mungkin terjadi. Adapun assurance lebih lanjut
dikaitkan dengan pertanggungan yang berkaitan dengan jiwa seseorang.
Menurut UU Nomor 1 Tahun 1992 tentang Usaha Asuransi, asuransi adalah
perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristwa yang tidak
pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Fungsi utama dari asuransi adalah sebagai mekanisme untuk mengalihkan
risiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan risiko dari satu
pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Kegiatan usaha asuransi di
Indonesia didasarkan pada UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Jenis-jenis asuransi, di antaranya asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan
reasuransi. Adapun contoh perusahaan
asuransi di antaranya Asuransi Kesehatan (ASKES), JAMSOSTEK, Pruddential, atau
Axa Life.
Seseorang yang memanfaatkan produk asuransi biasanya memegang polis
asuransi. Polis asuransi adalah suatu kontrak perjanjian yang sah antara
penanggung (dalam hal ini perusahaan asuransi) dengan tertanggung, pihak
penanggung bersedia menanggung sejumlah kerugian yang mungkin timbul di masa
yang akan datang dengan imbalan pembayaran (premi) tertentu dari tertanggung.
Terdapat dua bentuk perjanjian dalam menetapkan jumlah pembayaran pada saat
jatuh tempo asuransi, yaitu: kontrak nilai (valued contract) dan kontrak
indemnitas (contract of indemnity). Kontrak nilai adalah
perjanjian di mana jumlah pembayarannya telah ditetapkan di muka. Seperti nilai Uang Pertanggungan (UP) pada asuransi
jiwa. Adapun kontrak indemnitas adalah perjanjian yang jumlah santunannya
didasarkan atas jumlah kerugian finansial yang sesungguhnya. Contohnya biaya
perawatan rumah sakit.
Seiring dengan perkembangan industri keuangan syariah, di Indonesia
berkembang pula perusahaan asuransi dengan prinsip kegiatan usaha berbasis
syariah. Secara operasional, perusahaan asuransi berdasarkan prinsip syariah
mengacu kepada SK Dirjen Lembaga Keuangan Nomor 4499/LK/2000 tentang Jenis,
Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dengan Sistem Syariah dan beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK),
yaitu KMK Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Asuransi; KMK Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi; dan KMK Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha
dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Perasuransian syariah di Indonesia juga diatur dalam beberapa fatwa DSN-MUI
antara lain Fatwa DSN-MUI Nomor21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah. Fatwa DSN MUI Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah
Musyarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa DSN-MUI No 52/DSN-MUI/III/2006
tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi
Syariah, Fatwa DSN-MUI No
53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi
Syariah.
Asuransi syariah menurut Fatwa DSN MUI adalah usaha saling melindungi dan
tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset
dan/atau Tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang
sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir
(perjudian), riba, zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram, dan maksiat.
Menurut Andri Soemitra (2009), bahwa asuransi syariah berbeda dengan
asuransi konvensional. Pada asuransi syariah setiap peserta sejak awal
bermaksud saling menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan
menyisihkan dananya sebagai iuran kebijakan yang disebut Tabarru’. Jadi
sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko (risk tranfer) di mana
tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian risiko (risk
sharing) yang para pesertanya saling menanggung. Akad yang digunakan dalam
asuransi syariah harus selaras dengan hukum Islam (syariah), artinya akad yang
dilakukan harus terhindar dari gharar (penipuan), maysir (perjudian),
riba, zhulm (penganiyayaan), risywah (suap). Di samping itu, investasi dana harus pada
objek yang halal-thoyyibah bukan barang haram dan maksiat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar