17 Oktober 2017

Asuransi

Hasil gambar untuk asuransi
Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda yakni assurantie yang dalam bahasa Indonesia diartikan asuransi. Namun, menurut Andri Soemitra (2009) bahwa  istilah assurantie itu sendiri sebenarnya bukanlah istilah asli bahasa Belanda, melainkan berasal dari bahasa Latin, yaitu assecurare yang berarti “meyakinkan orang”. Dalam bahasa Belanda, istilah asuransi yang sering diartikan “pertanggungan” dapat diterjemahkan menjadi insurance dan assurance. Kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda, insurance mengandung arti segala sesuatu yang mungkin terjadi. Adapun assurance lebih lanjut dikaitkan dengan pertanggungan yang berkaitan dengan jiwa seseorang.

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1992 tentang Usaha Asuransi, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Fungsi utama dari asuransi adalah sebagai mekanisme untuk mengalihkan risiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan risiko dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Kegiatan usaha asuransi di Indonesia didasarkan pada UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Jenis-jenis asuransi, di antaranya asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan reasuransi.  Adapun contoh perusahaan asuransi di antaranya Asuransi Kesehatan (ASKES), JAMSOSTEK, Pruddential, atau Axa Life.
Seseorang yang memanfaatkan produk asuransi biasanya memegang polis asuransi. Polis asuransi adalah suatu kontrak perjanjian yang sah antara penanggung (dalam hal ini perusahaan asuransi) dengan tertanggung, pihak penanggung bersedia menanggung sejumlah kerugian yang mungkin timbul di masa yang akan datang dengan imbalan pembayaran (premi) tertentu dari tertanggung.
Terdapat dua bentuk perjanjian dalam menetapkan jumlah pembayaran pada saat jatuh tempo asuransi, yaitu: kontrak nilai (valued contract) dan kontrak indemnitas (contract of indemnity).  Kontrak nilai adalah perjanjian di mana jumlah pembayarannya telah ditetapkan di muka. Seperti  nilai Uang Pertanggungan (UP) pada asuransi jiwa.  Adapun kontrak indemnitas adalah perjanjian yang jumlah santunannya didasarkan atas jumlah kerugian finansial yang sesungguhnya. Contohnya biaya perawatan rumah sakit.
Seiring dengan perkembangan industri keuangan syariah, di Indonesia berkembang pula perusahaan asuransi dengan prinsip kegiatan usaha berbasis syariah. Secara operasional, perusahaan asuransi berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada SK Dirjen Lembaga Keuangan Nomor 4499/LK/2000 tentang Jenis, Penilaian, dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah dan beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK), yaitu KMK Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi; KMK Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan KMK Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Perasuransian syariah di Indonesia juga diatur dalam beberapa fatwa DSN-MUI antara lain Fatwa DSN-MUI Nomor21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa DSN MUI Nomor 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musyarakah pada Asuransi Syariah, Fatwa DSN-MUI No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah,  Fatwa DSN-MUI No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi dan Reasuransi Syariah.
Asuransi syariah menurut Fatwa DSN MUI adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau Tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Akad yang sesuai dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir  (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram, dan maksiat.

Menurut Andri Soemitra (2009), bahwa asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional. Pada asuransi syariah setiap peserta sejak awal bermaksud saling menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebijakan yang disebut Tabarru’. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko (risk tranfer) di mana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian risiko (risk sharing) yang para pesertanya saling menanggung. Akad yang digunakan dalam asuransi syariah harus selaras dengan hukum Islam (syariah), artinya akad yang dilakukan harus terhindar dari gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiyayaan), risywah (suap). Di samping itu, investasi dana harus pada objek yang halal-thoyyibah bukan barang haram dan maksiat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...