8 November 2013

RENUNGAN TAHUN BARU

Tanggal 5 November 2013 M bertepatan dengan tanggal 1 Muharram umat Islam memasuki tahun baru Islam 1435 H. Beberapa minggu lagi kita akan mengakhiri tahun 2013 M. Detik-detik pergantian tahun selalu menjadi pusat perhatian hampir seluruh umat manusia. Sudah menjadi hal yang lumrah bila malam pergantian tahun selalu meriah dengan acara yang semarak.
Semaraknya malam pergantian tahun bahkan telah melalaikan manusia akan makna waktu dan lalai terhadap mengingat Allah. Tetapi kita juga jumpai segelintir hamba Allah yang dengan penuh harap dan takut berhitung diri (muhasabah) agar mendapatkan keberkahan dengan makin berkurangnya usia di dunia. Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik.


Kita seharusnya menggali kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan Tahun Hijriah ini. Tahun hijriah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama 'Tahun Muhammad' atau 'Tahun Umar'. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).

Dalam buku Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979), Sidi Gazalba, cendekiawan Islam asal Malaysia, menuliskan, ''Dipandang dari ilmu strategi, hijrah merupakan taktik. Strategi yang hendak dicapai adalah mengembangkan iman dan mempertahankan kaum mukminin.'' Hijrah adalah momentum perjalanan menuju Daulah Islamiyah yang membentuk tatanan masyarakat Islam, yang diawali dengan eratnya jalinan solidaritas sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.

Jalinan ukhuwah yang menciptakan integrasi umat Islam yang sangat kokoh itu telah membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru bumi. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya dan disegani. Bisa dimengerti, jika umat Islam dewasa ini tidak disegani musuh-musuhnya, menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah yang tidak seerat kaum Mujahirin-Anshar.

Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik. Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Hadis Rasulullah yang sangat populer menyatakan, ''Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung, Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.''

 وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ 
''Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat).'' (QS Al Hasyr:18).

Hakikat Waktu 

Pergantian tahun mengingatkan kita bahwa jatah hidup kita di dunia ini semakin berkurang. Seorang ulama besar, Imam Hasan Al-Basri, mengatakan, ”Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu.” Dengan makna seperti itu, seharusnyalah kalau pergantian tahun justru mesti kita manfaatkan untuk mengevaluasi diri (muhasabah).

Khalifah Umar bin Khathab menyatakan: ”Hitunglah diri kalian sebelum kalian dihitung. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang. Bersiaplah untuk menghadapi hari yang amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi.”

Rasulullah SAW bersabda: ”Tidaklah melangkah kaki seorang anak Adam di hari kiamat sebelum ditanyakan kepadanya empat perkara: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang masa mudanya untuk apa digunakan, tentang hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dihabiskan, dan tentang ilmunya untuk apa dimanfaatkan.” (HR Tirmidzi).

Terkait dengan umur, Rasulullah SAW menjelaskan: ‘‘Sebaik-baik manusia ialah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya, sedangkan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya tetapi buruk amal perbuatannya.” (HR Tirmidzi).

Al Quran (Al ‘Ashr: 1-3), juga menuntun kita agar tidak merugi ditelan waktu. Hanya orang yang beriman, beramal sholeh, saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan menetapi kesabaranlah yang akan menikmati keberuntungan.

Pergantian tahun baru pada hakikatnya adalah mengingatkan manusia tentang pentingnya waktu. Imam Syahid Hasan Al-Banna berkata, ”Siapa yang mengetahui arti waktu berarti mengetahui arti kehidupan. Sebab, waktu adalah kehidupan itu sendiri.” Dengan begitu, orang-orang yang selalu menyia-nyiakan waktu dan umurnya adalah orang yang tidak memahami arti hidup.

Ulama kharismatik, Dr Yusuf Qardhawi, dalam kitab Al-Waqtu fi Hayatil Muslim menjelaskan tentang tiga ciri waktu. Pertama, waktu itu cepat berlalunya. Kedua, waktu yang berlalu tidak akan mungkin kembali lagi. Dan ketiga, waktu itu adalah harta yang paling mahal bagi orang beriman. 

Hukum Merayakan Tahun Baru 

Dalam agama Islam, yang namanya hari raya hanya ada dua saja, yaitu hari ‘Idul Fithr dan ‘Idul Adha. Selebihnya, tidak ada pensyariatannya, sehingga sebagai muslim, tidak ada kepentingan apapun untuk merayakan datangnya tahun baru, baik tahun baru masehi maupun tahun baru hijriah. Ada sekian banyak pendapat yang berbeda tentang hukum merayakan tahun baru Masehi. Sebagian mengharamkan dan sebagian lainnya membolehkannya dengan syarat.

Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun baru masehi, salah satu hujjahnya adalah mereka berpendapat bahwa perayaan malam tahun baru adalah ibadah orang kafir, karena di negara-negara barat perayaan malam tahun baru masehi menjadi satu rangkaian dengan peringatan kelahiran Yesus Kristus (Natal). Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir. maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.

Pendapat yang menghalalkan berangkat dari argumentasi bahwa perayaan malam tahun baru masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu. Semua tergantung niatnya. Mereka mengambil perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari Natal. Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender karena natal, tahun baru, kenaikan Isa, paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan libur kerja dan sekolah. Apakah liburnya umat Islam karena hari-hari besar Kristen itu termasuk ikut merayakan hari besar mereka? Umumnya kita akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau kita niatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram. Tapi kalau tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja.

Namun lepas dari dua kutub perbedaan pendapat ini, paling tidak buat kita umat Islam yang bukan orang Barat, perlu rasanya kita mengevaluasi dan berkaca diri terhadap perayaan malam tahun baru.
Pertama, biar bagaimana pun perayaan malam tahun baru tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Kalau pun dikerjakan tidak ada pahalanya, bahkan sebagian ulama mengatakannya sebagai bid’ah dan peniruan terhadap orang kafir.
Kedua, tidak ada keuntungan apapun secara moril maupun materil untuk melakukan perayaan itu. Umumnya hanya sekedar latah dan ikut-ikutan, terutama buat kita bangsa timur yang sedang mengalami degradasi pengaruh pola hidup western. Bahkan seringkali malah sekedar pesta yang membuang-buang harta secara percuma.
Ketiga, bila perayaan ini selalu dikerjakan akan menjadi sebuah tradisi tersendiri, dikhawatirkan pada suatu saat akan dianggap sebagai sebuah kewajiban, bahkan menjadi ritual agama.
Keempat, karena semua pertimbangan di atas, sebaiknya sebagai muslim kita tidak perlu mentradisikan acara apapun, meski tahajud atau mabit atau sejenisnya secara massal. Kalaulah ingin mengadakan malam pembinaan atau apapun, sebaiknya hindari untuk dilakukan pada malam tahun baru, agar tidak terkesan sebagai bagian dari perayaan. Meski belum tentu menjadi haram hukumnya.

Adakah Jalan Tengah? 

Insya Allah, ada jalan tengah yang sekiranya bisa kita pertimbangkan. Misalnya, kalau dasarnya memang tidak ada budaya atau kebiasaan untuk bertahun baru dengan kegiatan semacam pengajian dan sejenisnya, sebaiknya memang tidak usah digagas sejak dari semula. Biar tidak menjadi bid’ah baru.

Akan tetapi kalau kita berada pada masyarakat yang sudah harga mati untuk merayakan tahun baru, suka tidak suka tetap harus ada kegiatan, mungkin akan lain lagi ceritanya. Tugas kita saat itu mungkin boleh saja sedikit berdiplomasi. Misalnya, tidak ada salahnya kalau kita mengusulkan agar acaranya dibuat yang positif seperti pengajian, mabit, lomba pidato/muhadharah, murottal, dll. Dari pada kegiatannya dangdutan, begadang semalam suntuk atau konser musik, kan lebih baik kalau digelar saja dalam bentuk pengajian. Anggaplah sebagai proses menuju kepada pemahaman Islam yang lebih baik nantinya, tetapi dengan cara perlahan-lahan.

Kalau kita tidak bisa menghilangkan budaya yang sudah terlanjur mengakar dengan sekali tebang, maka setidaknya arahnya yang dibenarkan secara perlahan-lahan. Kira-kira ide dasarnya demikian. Tetapi yang kami sebut sebagai jalan tengah ini bukan berarti harga mati. Ini cuma sebuah pandangan, yang mungkin benar dan mungkin juga tidak. Namanya saja sekedar pendapat. Tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat. Dan mungkin suatu ketika kami koreksi ulang. Wallahu a’lam.
Semoga Allah SWT selalu menuntun kita ke jalan yang benar…….. amien!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...