1 Pendahuluan
Perlu dibedakan konsep
hukum internasional dalam praktek dan hukum internasional sebagai suatu dokumen
tertulis dan/atau teori. Perbedaan ini terkadang menimbulkan persoalan yang
dapat mengarah pada perdebatan yang tidak henti-heptinya. Di satu pihak hukum
internasional mengatur hubungan antar subyek hukum untuk menjamin rasa
keadilan, keamanan, dan ketertiban sedang di pihak lain sebagai suatu kenyataan
dalam praktek bahwa begitu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh subyek hukum
interriasional sehingga dirasakan oleh subyek hukum tertentu sebagai kondisi
yang penuh dengan ketidakadilan, ketidakamanan, dan ketidaktertiban. Kondisi
inilah yang mengundang pertanyaan, bagaimana perkembangan hukum internasional
dan waktu ke waktu sampai era kontemporer. Berikut ini adalah uraian tentang
sejarah hukum internasional secara kronologis beserta argumen-argumen dalam
praktek hubungan antar bangsa.
2 Sejarah
Hukum Internasional
Dalam menguraikan sejarah
perkembangan hukum intemasional sejak keruntuhan Romawi hingga abad kelima
belas oleh para penulis Barat, sangat langka mengungkap peranan para ilmuwan
dan kerajaan-kerajaan Islam ketika mencapai puncak kejayaan. Pada umumnya dalam
memaparkan perkembangan sejarah hukum internasional pada periode abad
pertengahan, mereka hanya mengungkap tokoh-tokoh dari Eropah Barat, setelah
perkembangan di negara-negara Yunani, Kekaisaran Romawi, dan Yahudi, langsung
saja pada tokoh-tokoh yang dianggap pelopor hukum internasional di
negara-negara Barat, seperti Santo Thomas Aquinas (1226-1274), De Vitoria
(1486-1516) dan Suarez (1548-1617). Padahal, pada saat itu kerajaan-kerajaan
dan ilmuwan Muslim pun ikut andil dalam membangun hukum internasional hingga
pernah mencapai puncak kejayaan pada abad ketujuh sampai dengan abad ketiga
belas sementara Eropah masih ada dalam kegelapan dan keterbelakangan.
Pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi, kebangkitan Islam melanda dunia. Pada masa kejayaan negaraAbasyiyah, Muawiyah, dan Usmaniah yang diperintah oleh umat Islam telah berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Sisilia, Italia Selatan, Prancis dan Spanyol dan beberapa daratan Eropah lainnya. Namun, ada kesalahan persepsi karena tak pernah diungkap oleh sejarawan Muslim adalah mengenai kepemimpinan Arab yang dianggap telah menyerang dunia Katholik, terutama pada masa perluasan wilayah sampai ke daratan Eropah. Perlu diluruskan bahwa kalaupun ada operasi penaklukan, sebenarnya itu adalah inisiatif perorangan, tidak mencerminkan politik luar negeri secara keseluruhan.
Pada abad ketujuh dan kedelapan Masehi, kebangkitan Islam melanda dunia. Pada masa kejayaan negaraAbasyiyah, Muawiyah, dan Usmaniah yang diperintah oleh umat Islam telah berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Sisilia, Italia Selatan, Prancis dan Spanyol dan beberapa daratan Eropah lainnya. Namun, ada kesalahan persepsi karena tak pernah diungkap oleh sejarawan Muslim adalah mengenai kepemimpinan Arab yang dianggap telah menyerang dunia Katholik, terutama pada masa perluasan wilayah sampai ke daratan Eropah. Perlu diluruskan bahwa kalaupun ada operasi penaklukan, sebenarnya itu adalah inisiatif perorangan, tidak mencerminkan politik luar negeri secara keseluruhan.
Tidak banyak terungkapkan
tentang kontribusi Islam dalam praktek hukum intemasional pada masa silam,
khususnya pads masa kejayaan negara-negara Islam, nampaknya karena lemahnya
publikasi terutama oleh para sejarawan Muslim. Hamed A. Rabie (1981), seorang
yang menulis “Islam and International Forces ” mengemukakan bahwa segala
peristiwa penting yang terjadi sampai akhir abad 3 Hijrah – termasuk periode
Harun Al-Rasyid – tidak mendapat tempat sama sekali dan tidak ditemukan
bukti-bukti yang menunjukkan pemahaman dan persepsi politik yang membentuk
pemikiran tentang kepemimpinan Islam. la pun mempertanyakan, apakah masuk akal
suatu imperium yang mempunyai wilayah demikian luas tidak mempunyai konsep
politik apa pun untuk hakikat dan segi-segi interaksi dengan dunia luar? la
mencontohkan sebuah tulisan yang tak kurang pentingnya berjudul “Themes of
Islamic Civilization ” (Tema-tema Peradaban Islam) yang ditulis oleh Alden
Williams ternyata meninggalkan segala segi yang berhubungan dengan persepsi
Islam terhadap dunia luar. Lebih lanjut, Hamed A. Rabie mengakui bahwa masalah
hukum internasional dalam Islam belum merupakan obyek studi sampai sekarang.
Menurutnya, ada dua fenomena yang perlu mendapat perhatian:
Pertama, fenomena umum
tulisan hasil karya Barat tentang sejarah hukum internasional pada abad
pertengahan dengan sikap melupakan peranan yang pernah dimainkan oleh peradaban
Islam dalam membina tradisi hukum internasional. Pada masa ini, konsep umum
hukum internasional adalah konsep Yahudi. Katholik dan Islam tidak memiliki
persepsi sendiri.
Kedua, apabila menyelidiki
tulisan-tulisan yang bernafaskan Islam, sekarang maupun terdahulu, tidak
terdapat perhatian sungguh-sungguh terhadap dunia luar. Sesungguhnya, di
negara-negara Islam tempo dulu banyak sarjana politik Islam yang telah menghasilkan
karya-karya besar, seperti:
1) Al Farabi dari Transoxania (sekarang, Turkemania), yang hidup pads 260-339 H atau 870-950 M, seorang filsuf dan politikus terkenal dengan teorinya “Madinatu’l Fadilah” yang diterjemahkan menjadi Negara Utama (Model State).
2) Ibnu Sina (dalam
tulisan Barat dikenal Avicenna) dan Belch (sekarang Afganistan), hidup pads
370-428 H atau sama dengan 980-1037 M, seorang dokter politikus, terkenal
dengan teorinya “Siyasatu `rrajul” yang diterjemahkan menjadi Negara Sosialis
(Socialistic State).
3) Imam Al Gazali dari Thus, Persia (sekarang, Iran), yang hidup pada 450-505 H atau 1058-1111, seorang sufi-politikus. la terkenal dengan teorinya “Siyasat ul Akhlaq ” yang terkenal dinamakan Negara Akhlak (Ethical State).
4) Ibnu Rusjd (dalam
tulisan barat dikenalAverroes) dari Cordova, Andalusia (sekarang, Spanyol),
yang hidup pada 520-595 H atau sama dengan 1126-1198 M, seorang
hakim-politikus, terkenal dengan teorinya “Al Jumhuriyah wa’I Ahkam “, yang
secara populer dinamakan pula “Negara Demokrasi” (Democtratic State).
5) Ibnu Kaldun dari Tunis (sekarang, Tunisia), yang hidup pada 732-808 H atau sama dengan 1332-1406 M, seorang sosiolog¬politikus yang terkenal dengan teorinya “Al Ashabiyah wa’1¬Igtidad ” yang lebih populer dengan “Negara Persemakmuran” (Welfare State).
Teori yang paling terkenal yang ada kaitannya dengan topik bahasan/ studi hukum internasional dari kelima teori tersebut adalah “Madinatu’1 Fadilah” yang ditulis oleh Al Farabi. Dalam buku tersebut Al Farabi membagi tingkat-tingkat masyarakat manusia yang berbentuk negara atas tiga tingkatan sbb.:
a. Kamilah Sugra
(Masyarakat Kecil atau Negara Nasional)
b. Kamilah Wusta (Masyarakat Tengah atau Persekutuan Regional)
c. Kamilah Uzma (Masyarakat Besar atau Negara Internasional)
b. Kamilah Wusta (Masyarakat Tengah atau Persekutuan Regional)
c. Kamilah Uzma (Masyarakat Besar atau Negara Internasional)
Namun Al-Farabi tidak
secara rinci menjelaskan konsepsi dari tiga tingkatan bentuk negara. la hanya
menyebut satu istilah untuk mayarakat kota yang sempuma dan diakui sudah berhak
menj adi negara yang disebut “Madinah Kamilah”.
Bertolak dari pemikiran Hamed
A.Rabie ini, nampaknya ada kesalahan dalam menyajikan sejarah hukum
internasional, terlepas apakah disengaja maupun tidak. Sebagai ilustrasi, di
kalangan para ilmuwan dan para penulis Barat maupun mahasiswa di bidang studi
hukum internasional telah dikenal bahwa St. Thomas Aquino (1226¬1274) dianggap
telah memberi garis-garis besar (basic principles) bagi Negara Dunia. Bahkan
dalam buku “Indonesia dan Hubungan Antarbangsa” yang ditulis oleh Sumarsono
Mestoko (1985) dikemukakan bahwa Santo Thomas Aquinas adalah pelopor dalam
hubungan dan hukum internasional. Padahal apabila mengungkap sejarah, ternyata
St. Thomas Aquinas adalah murid yang setia dari Al Farabi dan pengikut dalam
Aristotelianisme yang dihimpunkan oleh Al Farabi. Dengan demikian, tidak mengherankan
bahwa teori negara dunia yang dikemukakan oleh para ahli kemudian adalah
berasal dari faham Kamilah ‘Uzma Al Farabi.
Sebagai seorang
filsuf-politikus muslim, Al Farabi tentunya mengembangkan teorinya didasari
oleh ajaran-ajaran Islam yang ada dalam Al Qur’ an. Di dalam Kitab Suci ini
telah dikemukakan 5 prinsip hidup dalam lingkungan masyarakat internasional,
yakni:
1) Tentang asal kejadian manusia dari kejadian
yang lama (Cre¬ation of mankind from the same couple) yang tertera dalam QS An
Nisa ayat 1 dan QS Al Hujarat ayat 13.
2) Seluruh umat manusia adalah umat yang satu (Mankind is one community) yang tertera dalam QS Al Baqarah ayat 213 dan QS Yunus ayat 20.
3) Panggilan Islam untuk seluruh manusia (Islam s universal call) yang diterangkan dalam QS Yusuf ayat 104, QS Takwir ayat 27, QS As Saba ayat 28, dan QS Al Anbiya ayat 107.
4) Tentang perbedaan kulit dan bahasa (Difference of color and language) yang diuraikan dalam QS Ar Rum ayat 22 dan QS Al Hujarat ayat 13.
5) Perintah hidup berlapang dada (Toleration par excellence) yang dijelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 62 dan QS Al Maidah ayat 69.
2) Seluruh umat manusia adalah umat yang satu (Mankind is one community) yang tertera dalam QS Al Baqarah ayat 213 dan QS Yunus ayat 20.
3) Panggilan Islam untuk seluruh manusia (Islam s universal call) yang diterangkan dalam QS Yusuf ayat 104, QS Takwir ayat 27, QS As Saba ayat 28, dan QS Al Anbiya ayat 107.
4) Tentang perbedaan kulit dan bahasa (Difference of color and language) yang diuraikan dalam QS Ar Rum ayat 22 dan QS Al Hujarat ayat 13.
5) Perintah hidup berlapang dada (Toleration par excellence) yang dijelaskan dalam QS Al Baqarah ayat 62 dan QS Al Maidah ayat 69.
3. Zaman
Hubungan Antar Negara Modern
Masa kelahiran negara
modem diawali oleh suatu gerakan Re¬naissance (Pencerahan) yang terjadi di
Eropah dan sekaligus mengakhiri masa periode abad pertengahan (Middle Ages).
Masa renaissance dianggap pula sebagai masa transisi dari mass kegelapan di
Eropah (the Dark Ages) kepada masa negara-bangsa modem, eksplorasi, dan
permulaan dalam bidang komersial. Renaissance disebut pula sebagai gerakan
kebangkitan Eropah yang terjadi pada abad ke-14, dan mencapai puncaknya pads
abad ke-15 dan 16 Masehi. Setelah lahimya pemikiran bare ini, hokum antar
bangsa lebih banyak dilakukan melalui negara daripada melalui individu.
Raja-raja di Eropah tidak lagi tunduk pada kekuasaan Gereja. Re- . naissance
telah betul-betul merubah tatanan kehidupan yang biasa dilakukan pada abad
pertengahan.
Munculnya negara-negara modem ditandai dengan adanya pembentukan negara-negara besar dengan asas kedaulatan (Sovereighnty) yang menyatakan bahwa seorang penguasa di suatu wilayah negara mempunyai kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak di daerah dan atau negaranya. Dengan demikian bangsa dan negara lain harus saling menghornati eksistensi dan integritas bangsa dan negara lainnya. Kelahiran negara-negara modem ini dimulai sejak adanya perjanjian perdamaian Westphalia (1648), yakni peristiwa yang mengakhiri perang selama tiga puluh tahun di Eropah. Negara¬negara Eropah pada saat itu mulai menginjakkan kaki di benua lain, Asia, Afrika, bahkan Amerika, dan memperoleh wilayah jajahan/ kolonial.
Munculnya negara-negara modem ditandai dengan adanya pembentukan negara-negara besar dengan asas kedaulatan (Sovereighnty) yang menyatakan bahwa seorang penguasa di suatu wilayah negara mempunyai kedaulatan dan kekuasaan yang mutlak di daerah dan atau negaranya. Dengan demikian bangsa dan negara lain harus saling menghornati eksistensi dan integritas bangsa dan negara lainnya. Kelahiran negara-negara modem ini dimulai sejak adanya perjanjian perdamaian Westphalia (1648), yakni peristiwa yang mengakhiri perang selama tiga puluh tahun di Eropah. Negara¬negara Eropah pada saat itu mulai menginjakkan kaki di benua lain, Asia, Afrika, bahkan Amerika, dan memperoleh wilayah jajahan/ kolonial.
Perkembangan hukum
internasional pada abad ke- 16, 17, dan 18, secara teoritis banyak didominasi
oleh para ilmuwan-ilmuwan Barat terutama dari Spanyol, Belanda dan Italia. Alberico
Gentilis, seorang sarjana hukum dari Italia menerbitkan buku yang berjudul De
Jure Belli Libri Tres (1958) sangat mempengaruhi terhadap pemikiran-pemikiran
penulis berikutnya. Hugo de Groot (1583¬1645) atau dikenal pula dengan nama
Grotius, seorang Belanda ahli hukum internasional modem karena berhasil menulis
buku yang berjudul De Jure Praedae dan De Jure Belli Ac Pacis (1625). Selain
itu, is pun mengemukakan konsepsi Mare Liberium (konsepsi laut bebas). Di
Inggris, ahli hukurn intemasional yang beraliran posi¬tivist bernama Zouche
(1590-1660) sedangkan yang lainnya adalah Puffendorf (1632-1694), seorang yang
beraliran hukum kodrat.. Dengan kata lain, masa hubungan antarnegara modem ini
ditandai oleh banyaknya lahir penulis-penulis hukum dan hubungan intemasional.
4. Zaman Abad
Kesembilan Belas dan Dua Puluh (Super State Stage)
Perkembangan hukum
intemasional pads abad kesembilan belas mengalami perubahan bila dibandingkan
dengan kondisi parla masa negara modem. Menurut Holsti (1983), hal yang paling
menonjol dari perkembangan pads abad kesembilan belas adalah ditandai oleh
adanya kebangkitan nasionalisme dari setiap negara-bangsa, adanya perang
teknologi, dan terjadinya konflik ideologi.
Apabila pada abad
sebelumnya, banyak negarawan dan raja yang saling mempertukarkan wilayah secara
mudah dengan kriteria pertimbangan strategi dan ekonomi, maka pada abad
kesembilan belas, banyak pemimpin nasionalis yang berpendapat bahwa landasan
yang sah untuk menentukan suatu organisasi politik (negara) adalah kelompok
etnik atau kelompok bahasa yang jelas dan oleh karena itu negara harus
berdasarkan pada alasan nasionalisme. Akibat adanya pengaruh ajaran nasionalis
inilah, maka muncullah berbagai gerakan nasionalis di Eropah.. Berbagai
pemberontakan kelompok nasionalis. terjadi di sejumlah negara, seperti Rusia,
Austria-Hongaria, dan Swedia-Norwegia. Akibat lebih jauh dari gerakan
nasionalisme adalah pemanfaatan masa oleh pemerintah atau pemimpin negara untuk
melakukan mobilisasi rakyat dalam melakukan diplomasi dan peperangan. Padahal
sebelumnya, pemerintah mengalami kesulitan untuk menggerakkan rakyatnya dalam
rangka menggalang kekuatan nasional.
Dalam bidang teknologi,
negara-negara bangsa pada abad kesembilan belas mengalami kemajuan yang pesat
dalam bidang teknologi termasuk teknologi perang. Kemajuan dalam sistem
persenjataan nuklir adalah kontribusi yang paling revolusioner dari bidang ilmu
dan teknologi terhadap perang. Akibatnya, jumlah korban perang pun mengalarni
peningkatan yang sangat drastis. Sedangkan, latar belakang terjadinya konflik
bersenjata dipengaruhi pula oleh adanya konflik ideologi yang berbeda-beda,
seperti munculnya doktrin Naziisme, Komunisme, dan Demokrasi Liberal.
Pada akhir abad kesembilan
belas dan awal abad kedua puluh, diadakan dua Konferensi Perdamaian di Den Haag
(Belanda) masing-masing tahun 1899 dan 1907. Konferensi ini merupakan tonggak
tentang konsepsi pergaulan dunia dan mencita-citakan atau melakukan pencegahan
perang. Namun, akhirnya terjadi Perang Dunia 1 (1914-1918), sehingga seolah-olah
telah menggagalkan hasil-hasil dari dua konferensi tersebut. Pada akhir Perang
Dunia 1, masyarakat dunia berhasil mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang
bertujuan untuk mencegah terulangnya kembali perang yang telah mengakibatkan
banyak korban. Namun, upaya inipun temyata mengalami kegagalan, yakni sejak
tahun 1933 ketika Jepang menyerbu Mancuria dan Italia menyerbu Ethiopia yang
puncaknya terjadi Perang Dunia 2 yang meletus pada tahun 1939 sampai tahun
1945.
Sistem hukum internasional pada abad kedua puluh ini disebut pula sebagai sistem global kontemporer. Perbedaan yang mencolok dari sistem hukum ini adalah ditandai oleh semakin pentingnya kedudukan organisasi internasional yang lahir dari adanya perjanjian antar negara. Menurut Holsti (1983), ada beberapa hal yang membedakan sistem internasional kontemporer dengan sistem Eropah pada abad sebelumnya: (1) meningkatnya jumlah tipe-tipe negara; (2) adanya potensi destruktif yang besar dari negara-negara yang memiliki persenjataan nuklir; (3) semakin besarnya ancaman dari luar termasuk subversi, pengaruh ekonomi dan penaklukan militer; (4) makin pentingnya aktor-aktor non negara, seperti gerakan pembebasan nasional, perusahaan multinasional, kelompok kepentingan internasional, dan partai-partai politik yang melampaui batas negara; (5) posisi yang menonjol yang telah dicapai oleh tiga negara non Eropah, ialah Uni Sovyet (sekarang Rusia), Cina, dan Amerika Serikat.
Sistem hukum internasional pada abad kedua puluh ini disebut pula sebagai sistem global kontemporer. Perbedaan yang mencolok dari sistem hukum ini adalah ditandai oleh semakin pentingnya kedudukan organisasi internasional yang lahir dari adanya perjanjian antar negara. Menurut Holsti (1983), ada beberapa hal yang membedakan sistem internasional kontemporer dengan sistem Eropah pada abad sebelumnya: (1) meningkatnya jumlah tipe-tipe negara; (2) adanya potensi destruktif yang besar dari negara-negara yang memiliki persenjataan nuklir; (3) semakin besarnya ancaman dari luar termasuk subversi, pengaruh ekonomi dan penaklukan militer; (4) makin pentingnya aktor-aktor non negara, seperti gerakan pembebasan nasional, perusahaan multinasional, kelompok kepentingan internasional, dan partai-partai politik yang melampaui batas negara; (5) posisi yang menonjol yang telah dicapai oleh tiga negara non Eropah, ialah Uni Sovyet (sekarang Rusia), Cina, dan Amerika Serikat.
Aktor-aktor non negara
dapat meliputi organisasi interasional, organisasi internasional regional
maupun gerakan multinasional. Aktor-aktor semacam ini dapat meliputi:
Peserikatan Bangsa¬Bangsa, Gerakan Non Blok, Liga Arab, NATO, ASEAN, MEE, dan
sebagainya.
Semoga bermanfaat

sumber: http://massofa.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar